Saya muncul di blog ini kalau galau banget dan otak udah ngga bisa diajak melogika. Herannya, curhatan saya yang ngalor ngidul kayak orang paling sengsara aja di dunia ini, ada yang baca. Statistik postingan yang kalau nulis ngga saya kasih label apa apa, bisa tuh orang buka. Entah kebetulan buka atau gimana,
Well.... satu tahun saya menjadi operator dapodik, finally saya bisa lengser. Setelah 3 kali request untuk dilengserkan, lalu permintaan saya yang keempat kalinya dikabulkan oleh kepsek baru. Mei 2018 saya resmi mundur dan menghilang dari kesibukan operator yang melebihi batas. Of course, dengan berbagai omongan orang juga di belakang.
Mendadak diangkat jadi operator membuat saya katanya tidak disukai oleh orang-orang di kantor. Teman kantor saya, yang baru beberapa minggu saya mulai dekat dengan dia, karena kebetulan saya direkrut ngelesi di tempat lesnya, bercerita panjang lebar ke saya kalau saya dibenci oleh banyak orang. Orang baru, baru kemaren ngelamar, kok ya tiba-tiba jadi operator sekolah. Nggantiin orang lama lagi. Boom!! They hate me!
I know they hate me, Saya merasakannya. Tapi saya menganggapnya hanya prasangka saja. Karena saya emang suka overthinking. Maka menghadapi ketidakenakan itu, saya mencoba mengakrabkan diri, tiba-tiba ikut nimbrung, tiba-tiba ikut mencicipi makanan, tiba-tiba membuka obrolan. Hingga orang akhirnya menganggap saya nggak sopan. Karena dalam usaha saya mengakrabkan diri itu kadang saya keceplosan menggunakan kata "Kamu" kepada orang kantor. Dan saya adalah orang paling muda di situ.
Diingatkan? tidak.
Saya dibiarkan. Dan mereka menjadi semakiiiiiin benci saya.
Satu tahun berlalu, saya menganggap semuanya baik-baik saja. Mereka baik di depan saya, meskipun di belakang saya mereka lain. Tapi mereka baik di depan saya dan mengajak becanda. Hingga akhirnya saya juga mulai dekat dengan teman saya dan dia merekrut saya ngajar di tempat lesnya. Pas makan bareng, dia cerita panjang lebar, bahwa....
sebenarnya dulu dia benci saya, bahwa sebenarnya orang-orang di kantor ngga ada yang suka sama saya. Katanya saya sombong (dan saya ngga tahu sombongnya saya dimana, pulang pergi ngantor saya jalan kaki, ortu nggak kaya, saya mencoba low profile, tapi katanya saya sombong), Katanya juga saya nggak sopan, (karena kadang keceplosan pakai kamu saat mengakrabkan diri), dan saya menjadi operator padahal saya orang baru.
Teman saya ini akrab dengan para bapak-bapak di kantor. Kalau main, kadang dia menawarkan untuk mengajak saya. Tapi mereka selalu menolak, nggak seneng kalau saya ikut. Segitu bencinya lah pokok.
Lalu saya bertanya, saya kan udah mundur, apakah kira kira sekarang ini si A, si B, dan si C juga masih benci saya?
Dia menjawab, iya lah!! Masa kamu nggak peka.
Saya diam. Mata saya yang merah karena tadi malam insomnia, makin merah karena saya mbrabak berlinangan air mata. Ayam geprek yang diantarkan waiters di depan saya, rasanya nggak menarik sama sekali. Saya makal lima sendok, lalu saya tinggalkan.
Down ya.
Jika saya bisa memutar waktu, kalau tahu saya akan dibenci begini, mestinya saya tolak saja omongan kepala sekolah saya waktu itu agar saya menjadi operator. Saya kira sekolah ini adalah rumah saya, Tapi tidak. Rasanya seperti saya balik SMA, ketika anak-anak lain ada yang benci ke saya karena saya selalu mengejar nilai di sekolah (lagi lagi ini overthinking saja, dan saya mengejar nilai karena ortu saya hanya kuli meuble, uang saku nggak lancar, dan SPP dibantu beasiswa)
Pulang ke rumah saya nangis sinetron. Mewek. Rasanya pengen mati saja pas tahu fakta kalau orang-orang benci saya. Saya pengen keluar saja dari sekolah itu. Apalagi beberapa orang yang dia akrab banget sama saya, sampai kita sering ngemall bareng, ternyata dia punya pikiran yang sama juga kayak yang lain kalau saya nggak sopan sama orang tua. Iya, dia lebih tua dari saya.
Usaha saya mengakrabkan diri kebablasan. Menyesal? iya!
Menyesal karena saya sudah berusaha beradaptasi. Ketika jalan saya salah, tidak ada yang mengingatkan, dan setahun kemudian baru dibilangin.
Di perjalanan menuju rumah, saya merinding, saya berharap jatuh saja, ditabrak mobil, atau apa, lalu mati di jalan. Rasanya begitu lebih baik.
Apa artinya hidup? kalau semua orang membencimu? Curhat? teman saya yang saaaaangat mengerti saya, dia sudah menikah. Dan saya sudah bertekad tidak mengganggu dia lagi dengan kealayan saya. Saya tidak pernah menemukan pengganti dia. Teman saya di kantor yang saya anggap sudah akrab banget, berpikir sama bahwa saya tidak sopan. orang tua? kadang saya tidak suka mereka karena kadang mereka tidak bisa mengerti saya. Pacar? tidak ada. Teman-teman yang lain? Mereka pasti sibuk dengan hidup mereka sendiri.
Duduk di kamar bersandar pada ranjang, Nangis sambil menahan suara. Pengen menjerit, tapi mana mungkin, ini kos-kosan! Meratap sendirian. Nyari solusi tidak bisa. Berubah sekalipun mereka kadung punya mindset tentang saya seperti itu. Lalu saya hanya berandai-andai, mati saja, mati saja, mati saja.
Tapi saya nggak bisa bunuh diri. Berat balasannya kalau saya sampai bunuh diri. Maka saya stuck pada bayangan saya tertabrak mobil, saya terbakar, atau apapun itu. Saya mati saja.
Sekarang ini, di kantor saya memilih berdiam diri. Tidak berani lagi menyapa A, B, C dan D. Tidak asik lagi. Karena takut saya kebablasan lagi. Meski di hati saya ada pemikiran, kalau mereka semakin membenci saya karena saya tidak ramah lagi gimana?
Saya bingung lagi.
Dan hari-hari saya hadapi dengan resah dan tidak bahagia.
I have no one.
Well.... satu tahun saya menjadi operator dapodik, finally saya bisa lengser. Setelah 3 kali request untuk dilengserkan, lalu permintaan saya yang keempat kalinya dikabulkan oleh kepsek baru. Mei 2018 saya resmi mundur dan menghilang dari kesibukan operator yang melebihi batas. Of course, dengan berbagai omongan orang juga di belakang.
Mendadak diangkat jadi operator membuat saya katanya tidak disukai oleh orang-orang di kantor. Teman kantor saya, yang baru beberapa minggu saya mulai dekat dengan dia, karena kebetulan saya direkrut ngelesi di tempat lesnya, bercerita panjang lebar ke saya kalau saya dibenci oleh banyak orang. Orang baru, baru kemaren ngelamar, kok ya tiba-tiba jadi operator sekolah. Nggantiin orang lama lagi. Boom!! They hate me!
I know they hate me, Saya merasakannya. Tapi saya menganggapnya hanya prasangka saja. Karena saya emang suka overthinking. Maka menghadapi ketidakenakan itu, saya mencoba mengakrabkan diri, tiba-tiba ikut nimbrung, tiba-tiba ikut mencicipi makanan, tiba-tiba membuka obrolan. Hingga orang akhirnya menganggap saya nggak sopan. Karena dalam usaha saya mengakrabkan diri itu kadang saya keceplosan menggunakan kata "Kamu" kepada orang kantor. Dan saya adalah orang paling muda di situ.
Diingatkan? tidak.
Saya dibiarkan. Dan mereka menjadi semakiiiiiin benci saya.
Satu tahun berlalu, saya menganggap semuanya baik-baik saja. Mereka baik di depan saya, meskipun di belakang saya mereka lain. Tapi mereka baik di depan saya dan mengajak becanda. Hingga akhirnya saya juga mulai dekat dengan teman saya dan dia merekrut saya ngajar di tempat lesnya. Pas makan bareng, dia cerita panjang lebar, bahwa....
sebenarnya dulu dia benci saya, bahwa sebenarnya orang-orang di kantor ngga ada yang suka sama saya. Katanya saya sombong (dan saya ngga tahu sombongnya saya dimana, pulang pergi ngantor saya jalan kaki, ortu nggak kaya, saya mencoba low profile, tapi katanya saya sombong), Katanya juga saya nggak sopan, (karena kadang keceplosan pakai kamu saat mengakrabkan diri), dan saya menjadi operator padahal saya orang baru.
Teman saya ini akrab dengan para bapak-bapak di kantor. Kalau main, kadang dia menawarkan untuk mengajak saya. Tapi mereka selalu menolak, nggak seneng kalau saya ikut. Segitu bencinya lah pokok.
Lalu saya bertanya, saya kan udah mundur, apakah kira kira sekarang ini si A, si B, dan si C juga masih benci saya?
Dia menjawab, iya lah!! Masa kamu nggak peka.
Saya diam. Mata saya yang merah karena tadi malam insomnia, makin merah karena saya mbrabak berlinangan air mata. Ayam geprek yang diantarkan waiters di depan saya, rasanya nggak menarik sama sekali. Saya makal lima sendok, lalu saya tinggalkan.
Down ya.
Jika saya bisa memutar waktu, kalau tahu saya akan dibenci begini, mestinya saya tolak saja omongan kepala sekolah saya waktu itu agar saya menjadi operator. Saya kira sekolah ini adalah rumah saya, Tapi tidak. Rasanya seperti saya balik SMA, ketika anak-anak lain ada yang benci ke saya karena saya selalu mengejar nilai di sekolah (lagi lagi ini overthinking saja, dan saya mengejar nilai karena ortu saya hanya kuli meuble, uang saku nggak lancar, dan SPP dibantu beasiswa)
Pulang ke rumah saya nangis sinetron. Mewek. Rasanya pengen mati saja pas tahu fakta kalau orang-orang benci saya. Saya pengen keluar saja dari sekolah itu. Apalagi beberapa orang yang dia akrab banget sama saya, sampai kita sering ngemall bareng, ternyata dia punya pikiran yang sama juga kayak yang lain kalau saya nggak sopan sama orang tua. Iya, dia lebih tua dari saya.
Usaha saya mengakrabkan diri kebablasan. Menyesal? iya!
Menyesal karena saya sudah berusaha beradaptasi. Ketika jalan saya salah, tidak ada yang mengingatkan, dan setahun kemudian baru dibilangin.
Di perjalanan menuju rumah, saya merinding, saya berharap jatuh saja, ditabrak mobil, atau apa, lalu mati di jalan. Rasanya begitu lebih baik.
Apa artinya hidup? kalau semua orang membencimu? Curhat? teman saya yang saaaaangat mengerti saya, dia sudah menikah. Dan saya sudah bertekad tidak mengganggu dia lagi dengan kealayan saya. Saya tidak pernah menemukan pengganti dia. Teman saya di kantor yang saya anggap sudah akrab banget, berpikir sama bahwa saya tidak sopan. orang tua? kadang saya tidak suka mereka karena kadang mereka tidak bisa mengerti saya. Pacar? tidak ada. Teman-teman yang lain? Mereka pasti sibuk dengan hidup mereka sendiri.
Duduk di kamar bersandar pada ranjang, Nangis sambil menahan suara. Pengen menjerit, tapi mana mungkin, ini kos-kosan! Meratap sendirian. Nyari solusi tidak bisa. Berubah sekalipun mereka kadung punya mindset tentang saya seperti itu. Lalu saya hanya berandai-andai, mati saja, mati saja, mati saja.
Tapi saya nggak bisa bunuh diri. Berat balasannya kalau saya sampai bunuh diri. Maka saya stuck pada bayangan saya tertabrak mobil, saya terbakar, atau apapun itu. Saya mati saja.
Sekarang ini, di kantor saya memilih berdiam diri. Tidak berani lagi menyapa A, B, C dan D. Tidak asik lagi. Karena takut saya kebablasan lagi. Meski di hati saya ada pemikiran, kalau mereka semakin membenci saya karena saya tidak ramah lagi gimana?
Saya bingung lagi.
Dan hari-hari saya hadapi dengan resah dan tidak bahagia.
I have no one.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar